Matamedia.News, (Sumsel) | Tim Penyidik Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan melalui Kasi Penkum Vanny Yulia Eka Sari pada kamis (26/08/2024) menerangkan dari konferensi pers, bahwa Tim Penyidik kembali menetapkan satu orang tersangka terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek Pembangunan Prasarana Kereta Api Ringan (LRT) di Provinsi Sumatera Selatan. Penetapan ini merujuk pada hasil penyidikan yang dilakukan selama periode 2016 hingga 2020, berdasarkan Surat Perintah Penyidikan yang dikeluarkan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan.
Surat Perintah Penyidikan tersebut mencakup beberapa nomor, yaitu PRINT-05/L.6/Fd.1/01/2024 (23 Januari 2024), PRINT-05.A/L.6/Fd.1/02/2024 (29 Februari 2024), dan PRINT-05.B/L.6/Fd.1/09/2024 (6 September 2024). Proses penyidikan ini menunjukkan upaya serius dalam menuntaskan dugaan korupsi yang melibatkan proyek infrastruktur strategis di wilayah tersebut.
Tim Penyidik telah menetapkan BHW, Direktur Utama PT. Perentjana Djaja, sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi. Penetapan ini didasarkan pada alat bukti yang cukup, sesuai Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dan tertuang dalam Surat Penetapan Tersangka Nomor TAP-20/L.6.5/Fd.1/09/2024 tanggal 26 September 2024.
Dalam perkembangan terbaru, Tim Penyidik Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan telah menetapkan BHW, Direktur Utama PT. Perentjana Djaja, sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi terkait proyek Pembangunan Prasarana Kereta Api Ringan (LRT). Sebelumnya, BHW diperiksa sebagai saksi, namun setelah pengumpulan bukti yang cukup, statusnya kini ditingkatkan menjadi tersangka.
Tindakan penahanan terhadap BHW akan berlangsung selama 20 hari di Rutan Klas I Palembang, dimulai dari 26 September 2024 hingga 15 Oktober 2024. Penetapan ini merupakan langkah penting dalam penyidikan yang berlangsung sejak 2016 dan bertujuan untuk memberantas praktik korupsi dalam proyek tersebut.
Berdasarkan penyidikan, BHW, sebagai tersangka, diduga melanggar beberapa pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara primair, ia dikenakan Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18, serta Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHPidana. Selain itu, sebagai subsidair, ia juga dapat dijerat dengan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang yang sama. Tindakan ini menunjukkan keseriusan dalam menanggulangi praktik korupsi dalam proyek pembangunan yang melibatkan anggaran negara.
Sebagai alternatif, tersangka BHW juga dapat dikenakan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pasal ini mengatur tentang larangan bagi pejabat publik untuk melakukan perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara, menegaskan pentingnya akuntabilitas dalam penggunaan anggaran proyek pemerintah.
Sebanyak 34 saksi telah diperiksa dalam kasus ini. Modus operandi yang dilakukan oleh tersangka BHW, selaku Direktur Utama PT. Perentjana Djaja, melibatkan mark-up beberapa kegiatan serta pencatatan kegiatan fiktif. Tersangka juga diduga mengalirkan dana kepada tiga tersangka lain, yang bersumber dari praktik mark-up tersebut, menambah kompleksitas dalam dugaan tindak pidana korupsi ini.[ADAM03/**]