Matamedia.news, (Jakarta) | Kegiatan diskusi kali ini merupakan salah satu rangkaian kunjungan dari delegasi Mahkamah Agung Kerajaan Belanda yang didasari pada kerja sama berkelanjutan yang telah terjalin sejak 2013.
Hukum pidana Indonesia sedang berada pada masa transisi dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebagaimana diketahui, KUHP Nasional itu, mulai diberlakukan secara efektif pada 2 Januari 2026.
KUHP Nasional dimaksud telah mengandung pergeseran paradigma, yakni perubahan pidana retributif yang semula berfokus pada pembalasan dan efek jera kemudian menuju pergeseran paradigma yang signifikan dengan pendekatan restoratif, korektif dan rehabilitatif.
Untuk itu, dalam rangka mendorong pertukaran pengalaman, Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia (RI) menggelar diskusi dengan topik “Pidana Penjara Sebagai Ultimatum Remedium: Peran Mahkamah Agung dalam Mendorong Penjatuhan Hukuman yang Proporsional dan Adil” pada Rabu (18/6).
Diskusi ini menghadirkan narasumber dari Mahkamah Agung Kerajaan Belanda (Hoge Raad der Nederlanden) di antaranya adalah Presiden Hoge Raad, Hon. Dineke de Groot, Wakil Ketua Hoge Raad sekaligus menjabat sebagai Ketua Kamar Pajak, Hon. Mariken Van Hilten dan Hakim Agung Kamar Pidana Hoge Raad, Hon. Tjis Kooijmans.
Adapun yang bertindak sebagai moderator pada diskusi ini adalah Hakim Yustisial pada Kamar Pidana Mahkamah Agung yakni, Dodik Setyo Wijayanto, S.H.
Selanjutnya, Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, Dr. H. Prim Haryadi, S.H., M.H., melaporkan perihal penyelenggaraan diskusi di hadapan para pimpinan Mahkamah Agung dan para peserta yang hadir secara luring serta 359 peserta yang hadir secara daring.
Prim Haryadi menuturkan, kegiatan diskusi kali ini merupakan salah satu rangkaian kunjungan dari delegasi Mahkamah Agung Kerajaan Belanda yang didasari pada kerja sama berkelanjutan yang telah terjalin sejak 2013.
“Secara umum, kemitraan ini berfokus pada pertukaran pengetahuan dan pengalaman untuk memperkuat peran kedua lembaga dalam sistem hukum masing-masing negara, khususnya dalam menjaga konsistensi putusan dan kepastian hukum.” ujar pria yang pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum itu.
Adapun alasan dibalik terpilihnya topik diskusi kali ini, Prim Haryadi menjelaskan karena adanya relevansi dengan implementasi KUHP Nasional serta bagaimana Belanda membatasi penggunaan pemenjaraan dengan mendorong opsi pemidanaan alternatif.
Mengingat, pemerintah Indonesia juga sedang berupaya merampungkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (R-KUHAP) yang baru dengan harapan dapat mengakomodir ketentuan-ketentuan baru di dalam KUHP Nasional.
Berkaitan dengan adanya KUHP Nasional tersebut, ia menambahkan, pergeseran paradigma pada KUHP Nasional mencakup perubahan dan cara pandang hukum pidana yang kini lebih mempertimbangkan kepentingan korban, masyarakat dan pelaku serta menekankan pada pemulihan dan integrasi sosial.
Hal ini menunjukkan bahwa KUHP Nasional mengatur keseimbangan antara kepentingan umum (negara) dan kepentingan individu, antara perlindungan pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana, antara unsur perbuatan dan sikap batin, antara kepastian hukum dan keadilan.
Oleh sebab itu, Prim Haryadi berharap para peserta dapat memperoleh gambaran dan contoh konkrit yang berkenaan dengan hukum acara dalam penjatuhan pidana alternatif melalui diskusi ini.
Hakim Agung itu menambahkan, asas ultimum remedium dalam KUHP dulunya tidak diatur secara eksplisit, namun prinsip tersebut telah terlebih dahulu diterapkan pada berbagai undang-undang seperti Undang-Undang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Usai Ketua Kamar Pidana melaporkan penyelenggaraan diskusi, acara dilanjutkan dengan pemaparan materi dari para narasumber yang memberikan gambaran tentang bagaimana pelaksanaan tugas Hakim Agung di Belanda khususnya dalam menjatuhkan pemidanaan non pemenjaraan kepada pelaku pidana.
Rendahnya Tingkat Residivisme pada Pelaku Pidana Kerja Sosial, Benarkah?
Selanjutnya, Hakim Agung Kamar Pidana Hoge Raad, Hon. Tjis Kooijmans menyebutkan hal yang harus diperhatikan dalam penjatuhan pemidanaan nonpemenjaraan. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi terdakwa.
Karena, tambahnya, apabila terdakwa dihukum penjara, mungkin akan kehilangan pekerjaannya, kehilangan tempat tinggal dan tidak bisa lagi mengawasi anak-anaknya. Atas dasar situasi-situasi seperti itu, tambah Tjis, pidana kerja sosial dianggap lebih sesuai untuk diberikan.
Jika hakim yang menyidangkan perkara memberikan hukuman pemenjaraan, maka berdasarkan KUHP Belanda, hakim yang menyidangkan harus menjelaskan alasan pemberian hukuman penjara kepada terdakwa, meskipun sudah ada aturan agar hakim memberikan hukuman nonpemenjaraan.
Lebih lanjut, Tjis Kooijmans mengaku, hal penting lainnya yang diperhatikan di Belanda adalah untuk memastikan adanya konsistensi dalam menjatuhkan pemidanaan. Sebab menurutnya, konsisten atau tidaknya suatu putusan itu sejatinya bergantung pada pengadilan tingkat banding dan pengadilan tingkat pertama.
Tjis Kooijmans kemudian menjelaskan, pidana kerja sosial tidak dapat diterapkan pada kejahatan-kejahatan sangat serius seperti contoh penyalahgunaan narkotika dan tindak pidana pembunuhan karena pelaku tindak pidana tersebut tentunya akan diputus dengan pidana penjara selama puluhan tahun menurut hukum Belanda.
Selanjutnya, apa yang terjadi setelah selesai menjalani kerja sosial merupakan aspek penting dari tujuan pemidanaan kerja sosial itu sendiri.
Tjis Kooijmans menjabarkan, apabila telah selesai menjalani pidana kerja sosial, kemungkinan pelaku untuk mengulang tindak kejahatannya, adalah sangat rendah dibandingkan dengan para pelaku yang dipenjarakan atau pelaku yang keluar setelah menjalani hukumannya di penjara.
“Hal itu yang menjadi salah satu pertimbangan utama dalam menjatuhkan pidana alternatif. Jadi, pelaku yang mendapatkan hukuman penjara tingkat residivisme atau pengulangan tindak pidana secara siginifikan lebih tinggi daripada para pelaku yang dihukum dengan pidana kerja sosial.” beber Hakim Agung Kamar Pidana Hoge Raad itu.
Berkaitan dengan pelaksanaan pidana kerja sosial, Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan (PK Bapas) memiliki tanggung jawab besar untuk mengawasi apakah pelaku telah menjalankan kerja sosial tersebut.
PK Bapas berhak untuk memberikan rekomendasi apabila pidana kerja sosial tersebut tidak dilakukan maka pelaku dapat dikirim ke jeruji besi. Dengan begitu, imbuh Tjis Kooijmans, pidana kerja sosial tidak dianggap enteng dan pelaku akan sangat serius menjalankan kerja sosial tersebut.
Tjis Kooijmans kemudian mengakhiri pemaparannya dengan menyebutkan beberapa syarat pelaku dapat dijatuhi pidana bersyarat, yaitu:
1. Kompensasi/ganti rugi terhadap kerugian korban
2. Contact ban misalnya perintah untuk menjauhi korban
3. Kewajiban untuk hadir misalnya harus ke kantor polisi setiap minggu di waktu tertentu
4. Larangan untuk menggunakan alkohol dan narkotika serta harus kooperatif apabila nantinya dilakukan pengujian
5. Pelaku dapat masuk ke institusi kesehatan seperti institusi kesehatan mental; dan
6. Persyaratan lainnya yang berkaitan dengan kondisi terdakwa tersebut.
Harapannya, diskusi yang berlangsung interaktif ini dapat memberikan wawasan baru dan memperkaya pemahaman kedua negara, Indonesia dan Belanda, dalam hal penerapan sistem peradilan pidana, khususnya dalam konteks penjatuhan pidana alternatif.(Feb-Red/Hms MA)
Penulis: Nadia Yurisa Adila